Oleh: Rusdi Arfah
Pengarusutamaan Gender (PUG) telah menjadi istilah yang semakin sering kita dengar dalam berbagai konteks pembangunan. Namun, apa sebenarnya PUG itu? Bagaimana asal-usulnya? Apa saja hal-hal penting yang perlu dipahami terkait PUG? Lalu apa tantangan penerapan PUG di Maluku Utara?
Pengertian dan Asal-Usul PUG
Rusdi Arfah Fasilitator Daerah Pengarusutamaan Gender Maluku Utara menjelaskan PUG adalah strategi yang bertujuan untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam seluruh proses pembangunan, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi.
“Tujuan utamanya adalah mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam segala aspek kehidupan,” tuturnya di sela-sela Webinar Internasional Magister Program (S2) Hukum Keluarga Islam Pascasarjana IAIN Ternate, bertajuk Gender Issue and Legal Justice in Islamic Law, Ahad (7/7/24).
Rusdi Arfah, lebih lanjut menerangkan dilatarbelakangi komitmen global terkait kesetaraan gender, melahirkan strategi PUG pada Konferensi Dunia tentang Perempuan di PBB 1979. Konferensi ini kemudian menghasilkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Tindak Diskriminasi terhadap Perempuan atau yang lebih dikenal sebagai Konvensi CEDAW (Conventionon the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
“CEDAW adalah perjanjian internasional yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979, yang sering digambarkan sebagai piagam hak asasi internasional perempuan. Dengan CEDAW, negara-negara diseru untuk memenuhi dan melindungi hak-hak perempuan dan mengadopsi strategi pengarusutamaan gender dalam kebijakan dan program pembangunan di wilayahnya,” tutur Udi biasa di sapa.
Pria kelahiran Pangkajene Kab. Pangkep Sulawesi Selatan ini yang melanjutkan S2 di program Pascasarjana IAIN Ternate ini mengambil judul Tesis “Peran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dalam Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Maluku Utara” kepada wartawan AksesNews.com membagi beberapa hal penting terkait gender dan PUG.
“Pengertian terhadap hal-hal signifikan ini demi menyatukan persepsi dan visi terkait penerapan PUG dan mendapat dukungan semua pihak,” tegasnya.
1. Gender Tidak Sama dengan Jenis Kelamin. Gender merujuk pada peran, perilaku, dan atribut yang dianggap sesuai untuk perempuan dan laki-laki oleh masyarakat. Ini berbeda dengan jenis kelamin, yang merujuk pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki yang memang sudah ada sejak lahir.
2. PUG Bukan Hanya tentang Perempuan. Meskipun PUG sering dikaitkan dengan isu perempuan, PUG sebenarnya bertujuan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki. PUG mengakui bahwa ketidaksetaraan gender merugikan baik perempuan maupun laki-laki.
3. PUG Membutuhkan Komitmen dan Kolaborasi. PUG tidak dapat dicapai oleh satu pihak saja. PUG membutuhkan komitmen dan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat secara keseluruhan.
Apa Pentingnya PUG dan Manfaat di Sosial Masyarakat?
Menurut Rusdi, PUG penting karena mengakui bahwa perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman, kebutuhan, dan permasalahan yang berbeda. Dengan pengakuan ini, kemudian muncul kesadaran sosial untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam pembangunan. PUG berupaya memastikan bahwa kebijakan dan program pembangunan tidak hanya adil bagi perempuan dan laki-laki, tetapi juga efektif dalam mencapai tujuan pembangunan yang lebih luas.
“Jadi PUG ini bukan semata soal keadilan, tetapi juga demi efektivitas kinerja di tingkat instansi dan keberhasilan pembangunan di tingkat lebih luas,” terang Rusdi
Tantangan PUG di Indonesia dan Maluku Utara
Di Indonesia, PUG telah menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang mendukung implementasi PUG, termasuk Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai dalam implementasi PUG di Indonesia, masih banyak tantangan yang perlu dihadapi dan bersama-sama diatasi. Beberapa tantangan tersebut antara lain kurangnya pemahaman tentang PUG, resistensi dari kelompok-kelompok tertentu, dan keterbatasan sumber daya.
Begitu pula juga dengan Maluku Utara, punya tantangan tersendiri. Menurut Rusdi, salah satu tantangan PUG adalah nilai-nilai budaya patriarki yang masih sangat mengakar kuat di sosial masyarakat Maluku Utara.
Setiap masyarakat secara perlahan merubah seorang laki-laki dan perempuan menjadi jantan dan betina, menjadi maskulin dan feminim dengan kualitas, pola perilaku, peran, tanggung jawab, hak dan pengharapan yang berbeda. Berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat biologis, identitas gender dari perempuan dan laki-laki ditentukan secara psikologis dan sosial yang berarti secara historis dan budaya.
Nilai-nilai budaya patriarki yang masih mengakar di masyarakat Indonesia termasuk Maluku Utara dapat menghambat upaya PUG. Nilai-nilai ini seringkali menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan membatasi akses, kontrol, partisipasi dan penerimaan manfaat mereka terhadap program-program pemerintah di bidang politik, sosial, budaya dan ekonomi.
Selain itu, keterbatasan sumber daya menjadi tantangan dalam implementasi PUG di Maluku Utara. “Tenaga ahli / Fasilitator yang memahami isu gender dan anggaran yang memadai diperlukan untuk mendukung program-program yang dilaksanakan melalui strategi PUG,” kata Rusdi.
Meskipun banyak tantangan, strategi PUG terus dilaksanakan. Dengan berbagai usaha bersama mengimplementasikan PUG secara efektif, Indonesia, khususnya Maluku Utara diharapkan dapat mencapai pembangunan yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan. Apalagi Maluku Utara telah memiliki Perda PUG Nomor 6 tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan (*)